A Mindful Year

Begin doing what you want to do. We are now living in eternity. We have only this moment, sparkling like a star in our hand and melting like a snowflake – Marie B. Ray.

Looking back over the past year:

  • What have been the high and low parts?
  • In what ways have you grown and developed?
  • What part of your life are you grateful for?

Looking to the year ahead:

  • What qualities would you like to cultivate?
  • Who would you like to spend more time with?
  • What would you like to spend more tim doing?

Fenomena Will Smith dan Ade Armando

Dua minggu terakhir perhatian peminat film dunia semua tertuju kepada Will Smith. Ia mendapatkan piala Oscar pertama kali melalui aktingnya yang menawan (sekaligus menyebalkan) sebagai Richard Williams, seorang ayah yang mengorbitkan Venus dan Serena Williams dalam film King Richard. Saya yang mengikuti karirnya sejak bermain dalam komedi situasi Fresh Prince on The Bell Air tentu saja senang dengan pencapaian ini.

Namun itu semua menjadi buyar setelah Will Smith menampar presenter Chris Rock yang melontarkan joke menyinggung istrinya, Jada Pinket. Buyar semua perhatian terhadap perhelatan Oscar yang megah itu. Termasuk CODA sebagai film terbaik pun tenggelam. Padahal ini adalah film istimewa. Saya menontonnya sampai dua kali. Apa istimewanya? Film ini mengangkat perjuangan sebuah keluarga kelompok minoritas difabel tuna rungu. Selain itu, ini adalah film produksi Apple TV+ yang baru memulai debut dalam bisnis video streaming. Pencapaian yang belum pernah dinikmati oleh Netfilx, pendahulunya

Publik di sini pun tak kurang heboh dengan peristiwa yang kurang lebih sama terjadi. Ade Armando, dosen UI dan aktivis media sosial dikeroyok oleh sekelompok orang saat menghadiri demo mahasiswa di depan gedung DPR. Ini semua seharusnya tidak terjadi. Aksi mahasiswa yang sejatinya berjalan dengan elegan dan disambut dengan bersahabat oleh wakil DPR dan Kapolri, dirusak oleh segelintir orang yang emosional dan tidak bertanggung jawab. Akibatnya, semua media dan perhatian publik luput perhatiannya terhadap tuntutan mahasiswa, tenggelam oleh riuhnya pemberitaan tentang pengeroyokan Ade Armando ini.

Nasi sudah menjadi bubur. Kini, Will Smith harus membayar sikap emosional tak terkendalinya itu dengan larangan hadir selama 10 tahun di semua acara yang dibuat oleh organisasi Academy Awards. Sebuah harga yang terlalu mahal harus dibayarnya. Karirnya pun terancam menjadi suram setelah ini.

Demikian juga dengan riuh rendahnya aksi mahasiswa BEM SI dengan berbagai tagar gagah di Twitter itu akhirnya menjadi tak terdengar setelah publik lebih tersedot perhatiannya kepada pengeroyokan Ade Armando.

Bahagia itu Sederhana dan Lakukan Lebih Sering

Waktu masih kecil, saya mudah sekali bahagia. Pulang sekolah, hanya dengan menggambar di kamar, hati sudah senang. Saya bisa melakukannya berjam-jam tanpa henti. Saat itu pilihan hiburan sangat terbatas. TVRI baru tayang setelah jam 17 sore. Itu pun acara untuk anak-anak hanya satu dua saja.

Kenapa sekarang begitu susah untuk bahagia? Kenapa sekarang begitu banyak syarat dan penghalangnya? Bukankah bahagia itu sederhana dan mudah?

Saat pandemi ini saya terpaksa harus banyak di rumah. Otomatis pilihan yang membuat bahagia menjadi terbatas. Tidak bisa lagi jalan-jalan ke tempat yang eksotis. Mau ngopi di kafe, harus mikir seribu kali. Mendingan nyeduh sendiri. Pikiran melayang ke masa kecil di mana begitu mudahnya saya merasa bahagia di tengah pilihan yang terbatas seperti saat ini.

Makanya, saya aktif lagi menggambar seperti dulu. Bahkan saya rajin mengikuti tutorial dan kursus-kursus online untuk mempertajam skill. Beberapa tutornya mengatakan, menggambar atau sketching itu tujuannya untuk membuat bahagia. Jangan pedulikan hasil akhirnya. Toh, kalau bikin kesalahan, bisa diulang lagi. Jangan pedulikan karya orang lain yang lebih baik. Nikmati saja prosesnya. Selama itu membuat anda bahagia, lakukan lebih sering.

Membaca buku, tentu saja jadi pilihan lain. Bahkan begitu banyak buku yang menumpuk akhirnya satu per satu tamat dibaca. Ini semacam “blessing in disguise” di masa pandemi. Saya malu sendiri, kebiasaan membeli buku selama ini tidak diimbangi dengan kedisiplinan membacanya. Tumpukan buku yang tidak terbaca jauh lebih panjang daripada yang sudah diselesaikan.

Pagi hari saya selalu sempatkan berjalan kaki paling tidak 3-4 km pas matahari pagi terasa hangat menyiram tulang. Katanya itu mengandung vitamin D yang bagus untuk imunitas. Sambil berjalan, saya juga membayangkan tokoh-tokoh seperti Henry David Thoreau, JJ Rousseau dan Nietzche yg saya baca di buku Philosophy of Walking karya Frederic Gros. Mereka punya kebiasaan berjalan kaki setiap hari sambil melahirkan ide-ide kreatif. Berjalan kaki itu membuat saya rileks, pikiran terbuka dan ide-ide pun mengalir.

Kemarin ada twit yang pas banget dari Naval Ravikant yang juga menginspiriasi tulisan ini, “Highs that don’t lead to subsequent lows: meditation, gratitude, prayer, journaling, unconditional love, yoga, exercise, play, nature walks, creating art, reading for fun, singing, poetry, practicing a craft, pursuing curiosity, work done for its own sake, flow.”

Perlu digarisbawahi, semua aktivitas itu nyaris tanpa biaya.